Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bantuan Hukum

Bantuan Hukum
Bantuan Hukum

BANTUAN HUKUM

Aksara Hukum - Sebelum di undangkan Undang-Undang Nomor  8 Tahun 1981 tentang KUHAP, maka di dalam Undang-Undang Nomor  14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman telah mengatur tentang bantuan hukum sebagaimana tertuang di dalam pasal 35 sampai dengan pasal 38.

Di dalam Undang-Undang Nomor  14 Tahun 1970 telah memungkinkan bahwa bantuan hukum itu dapat  diperoleh sejak adanya penangkapan atau penahanan.
 
Dalam perkembangannya dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor  8 Tahun 1981 tentang KUHAP, maka bantuan hukum dapat di berikan sejak pemeriksaan pendahuluan.
 
Selanjutnya setelah di undangkannya Undang-Undang Nomor  4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang Nomor  14 tahun 1970, secara tegas dicantumkan pasal-pasal yang memberikan jaminan kepada tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum.

Yaitu sebagaimana menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor  4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

Maka dalam memperoleh bantuan hukum menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor  4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa “dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat”.
 
Penasihat hukum/advokat di dalam memberikan bantun hukum menurut Pasal 39 Undang-Undang Nomor  4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan, dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
 
Jadi bantuan hukum dapat merupakan suatu asas yang penting, bahwa seseorang yang terlibat dalam suatu perkara pidana berhak untuk memperoleh bantuan hukum, guna mendapatkan sewajarnya kepadanya. 

Demikian pula pentingnya bantuan hukum ini, adalah untuk menjamin perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia, maupun demi dilaksanakannya hukum sebagaimana mestinya.[1]
 

1. Pengertian Bantuan Hukum

Pengertian bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Dapat juga dikatakan bahwa bantuan hukum adalah suatu pemberian bantuan hukum dalam bentuk hukum, kepada tersangka/terdakwa oleh seorang ahli hukum/penasihat hukum/advokat, guna memperlancar penyelesain perkara.
 
Istilah penasihat hukum dan bantuan hukum adalah istilah baru. Sebelumnya dikenal istilah pembela, advokat, procureur (pokrol), dan pengacara. Istilah penasihat hukum dan bantuan hukum memang lebih tepat dan sesuai dengan fungsinya sebagai pendamping tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan daripada istilah pembela.[2]
                                                                 
Pengertian bantuan hukum yang lingkup kegiatannya cukup luas juga ditetapkan oleh Lokakarya Bantuan Hukum Tingkat Nasional tahun 1978 yang menyatakan bahwa bantuan hukum merupakan kegiatan pelayanan hukum yang diberikan kepada golongan tidak mampu (miskin) baik secara perorangan maupun kepada kelompok-kelompok masyarakat secara kolektif.[3]
 
Terhadap orang yang dapat memberikan bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa disebut penasihat hukum, sedangkan pengertian penasihat hukum menurut Pasal 1 angka 13 KUHAP, yaitu seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.

Demikian pula pengertian bantuan hukum menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu.[4]
 
Untuk lebih memahami definisi bantuan hukum, akan diuraikan juga pengertian bantuan hukum menurut para ahli.

Menurut Zulaidi, bantuan hukum berasal dari istilah legal asisstance dan legal aid. Legal aid  biasanya digunakan untuk pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa dibidang hukum kepada orang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma atau gratis bagi mereka yang tak mampu (miskin). Sehingga, dapat diartikah bahwa legal aid adalah bantuan hukum untuk masyarakat miskin.
 
Sedangkan legal assistance adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjukan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu, yang menggunakan honorium.
 
Clarence J. Dias menggunakan istilah legal service  yang diartikan dengan pelayanan hukum. Pelayan hukum adalah langkah-langkah yang diambil untuk menjamin agar operasi sistem hukum di dalam kenyataannya tidak akan menjadi diskriminatif sebagai adanya perbedaan tingkat penghasilan, kekayaan, dan sumber daya lain yang dikuasai oleh individu dalam masyarakat.
 
Menurut Adnan Buyung Nasution, pengertian bantuan hukum adalah sebuah program yang tidak hanya merupakan aksi kulural akan tetapi juga sebagai aksi struktural yang diarahkan pada perubahan tatan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas. Oleh karena itu, bantuan hukum bukanlah masalah yang sederhana, ia merupakan rangkaian tindakan guna membebaskan masyrakat dari belenggu struktural poleksos yang serat dengan penindasan. Demikianlah pengertian bantuan hukum menurut para ahli.[5]
 

2. Dasar Hukum Bantuan Hukum

Adapun dasar hukum dari bantuan hukum adalah :
  • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
  • Undang-Undang Nomor  14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
  • Undang-Undang Nomor  4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
  • Pasal 56 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
  • BAB VII Bantuan Hukum, Pasal 69 - Pasal 74 Undang-Undang Nomor  8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
 Baca Juga : Sejarah Bantuan Hukum

3. Pemberian Bantuan Hukum

Pemberian bantuan hukum menurut Keputusan Mahkamah Agung No. 5 KMA/1972 tanggal 22 Juni 1972, yaitu:
  • Pengacara (advokat/procureur), yaitu mereka yang sebagai mata pencaharian menyediakan diri sebagai pembela dalam perkara pidana atau kuasa/wali dari pihak-pihak dalam perkara perdata dan yang telah mendapat surat pengangkatan dari Departemen Kehakiman.
  • Pengacara praktik, yaitu mereka yang sebagai mata pencaharian (beroep) menyediakan diri sebagai pembela atau kuasa/wakil dari pihak-pihak yang berpekara, akan tetapi tidak termasuk dalam golongan tersebut diatas.
  • Mereka yang karena sebab-sebab tertentu secara insidental membela atau mewakili pihak-pihak yang berpekara.

4. Tujuan Pemberian Bantuan Hukum

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. 02.UM.09.08  Tahun 1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum, dalam konsiderannya, tujuan pemberian bantuan hukum itu adalah dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh keadilan perlu adanya pemerataan bantuan hukum khusus bagi mereka yang tidak atau kurang mampu.

Sehingga di dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2003 tentang Advokat, ditegaskan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
 
Jadi, sasaran bantuan hukum ini adalah mereka/anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu. Oleh karena itu, pemberian bantuan hukum ini diselenggarakan melalui badan peradilan umum (Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menkeh RI No. N. 02.UM.09.08 Tahun 1980).
 
Bantuan hukum menurut Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menkeh RI No. N. 02.UM.09.08 Tahun 1980, bahwa yang tidak/kurang mampu dalam perkara pidana, yang diancam dengan pidana:
a. Lima tahun penjara atau lebih, seumur hidup atau pidana mati.
b. Kurang dari lima tahun, tetapi perkara tersebut menarik perhatin masyarakat luas.
 
Demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Pasal 3, penyelenggaraan tujuan bantuan hukum untuk:
  • Menjamin dan memenuhi hak bagi penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan.
  • Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum.
  • Menjamin kepastian penyelengaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.[6]

5. Kewajiban Negara dalam Menyediakan Bantuan Hukum

Sebagai salah satu wujud kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya maka negara mestinya juga memiliki kepedulian bagi warga negaranya yang tersangkut dalam perkara dan tidak memiliki kemampuan untuk membela kepentingannya seorang diri.

Dalam prakteknya, penegakan persamaan  di muka hukum sulit tercapai terutama  jika yang tersandung kasus hukum adalah  golongan masyarakat yang tidak mampu atau  miskin yang pada umumya tidak mengetahui  hukum (buta hukum).
 
Mereka yang tidak  mampu bahkan buta hukum ini terkadang  tidak mengetahui hak-hak mereka yang  pada dasarnya sudah diatur dalam undang-undang karena sebagian besar dari mereka  terpaku dengan anggapan bahwa ketika  mereka ingin membela hak-hak mereka, mereka harus mengeluarkan biaya besar yang  mungkin untuk makan saja mereka masih  kesulitan.
 
Hal ini dilatarbelakangi oleh sangat minimnya sosialisasi terkait hak-hak mereka ketika menghadapi kasus hukum. Terlebih lagi, maraknya stigma mahalnya biaya untuk membayar jasa advokat atau pengacara.[7]
 
Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, ruang lingkup bantuan hukum yang diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.[8]
 
Kewajiban negara untuk memberikan bantuan hukum khususnya kepada mereka yang tidak mampu merupakan bagian yang sangat mendasar karena memiliki landasan yang kuat mulai dari konstitusinya hingga berbagai instrumen internasional.
 
Konstitusi Indonesia yang dijadikan landasan bantuan hukum misalnya Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Selanjutnya, Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerinta.”
 
Ketentuan ini mengamanatkan bahwa pemberian bantuan hukum merupakan hak setiap warga negara yang harus dijamin dan difasilitasi pemerintah. Implementasi ketentuan tersebut lebih dipertegas lagi dalam peraturan perundang-undangan republik Indonesia, mulai dari Undang-Undang Nomor  4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 37-40), Undang-Undang Nomor  8 Tahun1981 atau KUHAP (Pasal 54, 69-74), hingga Undang-Undang Nomor  18 Tahun 2003 tentang Advokat yang telah disahkan pada tanggal 5 April 2003 sekalipun masih meninggalkan banyak persoalan.[9]
 

6. Tata Cara atau Prosedur Pemberian Bantuan Hukum

Dalam pemberian bantuan hukum adalah merupakan hak-hak tersangka/terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum, sebagaimana di dalam KUHAP dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai berikut:
 
Menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, bahwa “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.
 
Kemudian, menurut  Pasal 38 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2001, bahwa “Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat”.
 
Selanjutnya, menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, bahwa Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
 
Adapun menurut Pasal 56 KUHAP, bahwa apabila tersangka atau terdakwa dalam hal ini telah dipersangkakan atau didakwa melakukan tindak pidana, yaitu:
Ayat (1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
 
Ayat (2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
 
Berdasarkan uraian di atas, maka tersangka atau terdakwa berhak untuk didampingi seorang penasihat hukum/advokat, namun dalam hal apabila tersangka/terdakwa tidak mampu membiayai jasa atau pembayaran honorarium atas pemberian bantuan hukum kepada penasihat hukum/advokat tersebut, maka pengadilan segera menunjuk dan meminta kepada tersangka/terdakwa untuk mendapatkan surat keterangan miskin atau kurang mampu dari kepala desa dan diketahui oleh camat (Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menkeh RI No. N.02.UM.09.08 Tahun 1980). Sehingga, biaya pendampingan hukum dapat diperoleh secara cuma-cuma oleh penerima bantuan hukum.
 
Untuk pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud di atas, maka ketua majelis hakim segera berkonsultasi dengan ketua pengadilan negeri, selanjutnya ketua majelis hakim menunjuk seorang atau lebih pemberi bantuan hukum. Penunjukan ini ditetapkan dengan surat penetapan ketua majelis hakim, yang mengadili perkara tersebut.
 
Pemberi bantuan hukum yang ditunjuk untuk mendampingi tersangka/terdakwa harus dikenal dan mempunyai nama baik, yang dapat memberikan bantuan hukum atau jasa-jasanya secara cuma-cuma (prodeo).
 
Jasa yang dapat diberikan dalam pemberian bantuan hukum ini kepada pemberi bantuan hukum hanya sekadar memperoleh imbalan jasa untuk penggantian ongkos jalan, biaya administrasi, dan lain sejenisnya.

Apabila tidak ada, dapat ditunjuk pemberi bantuan hukum yang berdomisili dalam daerah hukum pengadilan yang terdekat atau dalam wilayah hu- kum pengadilan tinggi yang bersangkutan (Pasal 3 Keputusan Menkeh. RI No. N.02.UM.09.08 Tahun 1980).[10]
 

7. Syarat Penerima Bantuan Hukum

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum ayat (1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Kemudian ayat (2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
 
Jadi, syarat penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yang meliputi meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan perumahan.

8. Lembaga Bantuan Hukum

Lembaga Bantuan Hukum adalah suatu organisasi yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma atau gratis kepada masyarakat tidak mampu. Singkatan LBH berasal dari Lembaga Bantuan Hukum untuk mempersingkat peyebutan lembaga ini.
 
 
Salah satu LBH  yang paling membantu dalam memberikan bantuan hukum adalah YLBHI. YLBHI adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang didirikan pada tanggal 26 Oktober 1970 atas inisiatif Dr. Adnan Buyung Nasution, S.H yang didukung penuh oleh Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta saat itu. Pendirian Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta diikuti dengan pendirian kantor-kantor cabang LBH di daerah seperti Banda Aceh, Medan, Palembang, Padang, Bandar Lampung, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Makassar, Manado, Papua dan Pekanbaru. Saat ini YLBHI memiliki 17 kantor cabang LBH di 17 Provinsi.
  
Lembaga konsultasi dan bantuan hukum di Indonesia saat ini terus mengalami perkembangan. Bantuan hukum di Indonesia bertujuan untuk memberikan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu.
 
Kelemahan lembaga bantuan hukum adalah menyangkut persoalan anggran untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Tidak semua LBH mendapatkan bantuan dana dari pemerintah untuk memberikan layanan bantuan hukum kepada masyarakat. LBH baru akan memndapatkan bantuan dana apabila LBH tersebut telah terverifikasi di Kementerian Hukum dan HAM.
 
Pendaftaran lembaga bantuan hukum dapat dilakukan melalui Kementerian Hukum dan HAM. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI (BPHN Kemenkumham) memberi kesempatan kepada Organisasi Bantuan Hukum (OBH) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di seluruh wilayah Indonesia untuk mendaftar sebagai Pemberi Bantuan Hukum sebagai amanat UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
 
Calon LBH/OBH yang telah memenuhi persyaratan serta dinyatakan lolos Verifikasi dan Akreditasi, berkewajiban memberikan Bantuan Hukum baik litigasi maupun non litigasi kepada Masyarakat, khususnya Orang Tidak Mampu dengan anggaran yang disediakan dalam APBN setiap tahunnya.
 

9. Contoh Bantuan Hukum

Contoh bantuan hukum adalah jasa pengacara gratis, jasa pengacara gratis dapat berupa mendampingi klien baik secara litigasi maupun non litigasi. Selain itu, bantuan hukum juga dapat berupa konsultasi gratis atas masalah hukum.  Konsultasi pengacara gratis apabila  masyarakat tersebut tidak mampu atau miskin.
 

10. Jenis-Jenis Bantuan Hukum

Jenis bantuan hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum dapat berbagai macam. Misalnya, jasa hukum yang bisa diberikan oleh advokat antara lain, konsultasi, pembuatan surat kuasa atau surat gugatan, pendampingan hukum, serta memberikan bantuan hukum litigasi dan non litigasi. Bantuan hukum bagi masyarakat miskin seperti dijelaskan di atas adalah gratis atau cuma-cuma, sehingga setiap masyarakat tidak mampu dapat memperoleh bantuan hukum.
 
Bantuan hukum non litigasi adalah pemberian bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Bantuan hukum litigasi adalah pemberian bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu melalui penyelesaian sengketa di pengadilan.
 
Para pemberi bantuan hukum dapat juga memberikan konsultasi dan bantuan hukum lainnya yang dianggap bermanfaat untuk kepentingan penerima bantuan hukum. Bantuan pengacara gratis dapat diperoleh melalui lembaga bantuan hukum. Karena lembaga bantuan hukum ini memberikan bantuan hukum cuma cuma atau bantuan hukum gratis.
 
Memberikan bantuan hukum dengan cuma cuma kepada masyarakat miskin adalah kewajiban dari pemberi bantuan hukum, pemberi bantuan hukum tidak boleh meminta biaya atas bantuan hukum yang telah diberikannya. Karena bantuan cuma cuma itulah yang menjadi hak dari masyarakat tidak mampu.
bantuan hukum diberikan oleh pemberi bantuan hukum harus sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku. Agar nantinya pemberian bantuan hukum dapat dilaksanakan secara maksimal.
 
Jasa hukum yang diberikan oleh advokat adalah sesuatu yang mahal sekali bagi masyarakat tidak mampu apabila jasa hukum yang diberikan oleh advokat tersebut tidak gratis. Berbeda dengan masyarakat yang mampu secara ekonomi dapat saja mendapatkan jasa hukum dengan mudah. 


[1] Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana, (Jakarta : Kencana Prenamedia Group, 2014), hlm. 114-115.
[2] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hlm. 89
[3] H. Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 7-8.
[4] Andi Muhammad Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 109-110.
[5] Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana,Widya Padjadjaran, 2011, hlm. 246-248.
[6] Andi Muhammad Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 113-114.
[7] Mustika Prabaningrum Kusumawati, Peranan dan Kedudukan Lembaga Bantuan Hukum Sebagai Access To Justice Bagi Orang Miskin,  Arena Hukum.  Vol. 9, No. 2, 2016, hal. 195. (https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena/article/view/241/232, diakses 31 Agustus 2019)
[8] Ibid., hlm. 200
[9] Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, Pembahuruan Hukum Acara Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 57-58.
[10] Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana, (Jakarta : Kencana Prenamedia Group, 2014), hlm. 116-118.

Marinus Lase
Marinus Lase Hai saya Marinus!

Post a Comment for "Bantuan Hukum"